Featured
Recent Posts

29 Maret 2016


Sejarah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1951-1960 Periode Rintisan Periode ini dimulai dengan Penegerian Fakultas Agama Universitas Islam Indonesia (UII) menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) yang diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 1950 Tanggal 14 Agustus 1950 dan Peresmian PTAIN pada tanggal 26 September 1951. Pada Periode ini, terjadi pula peleburan PTAIN (didirikan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 1950) dan ADIA (didirikan berdasarkan Penetapan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957) dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1960 Tanggal 9 Mei 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dengan nama Al-Jami'ah al-Islamiyah al-Hukumiyah. pada periode ini, PTAIN berada di bawah kepemimpinan KHR Moh Adnan (1951-1959) dan Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya (1959-1960) 1960-1972 Periode Peletakan Landasan Periode ini ditandai dengan Peresmian IAIN pada tanggal 24 Agustus 1960. Pada periode ini, terjadi pemisahan IAIN. Pertama berpusat di Yogyakarta dan kedua, berpusat di Jakarta berdasarkan Keputusan Agama Nomor 49 Tahun 1963 Tanggal 25 Februari 1963. Pada periode ini, IAIN Yogyakarta diberi nama IAIN Sunan Kalijaga berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 1965 Tanggal 1 Juli 1965. Pada periode ini telah dilakukan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, dimulai dengan pemindahan kampus lama (di Jalan Simanjuntak, yang sekarang menjadi gedung MAN 1 Yogyakarta ) ke kampus baru yang jauh lebih luas (di Jalan Marsda Adisucipto Yogyakarta). Sejumlah gedung fakultas dibangun dan di tengah-tengahnya dibangun pula sebuah masjid yang masih berdiri kokoh. Sistem pendidikan yang berlaku pada periode ini masih bersifat 'bebas' karena mahasiswa diberi kesempatan untuk maju ujian setelah mereka benar-benar mempersiapkan diri. Adapun materi kurikulumnya masih mengacu pada kurikulum Timur Tengah (Universitas Al-Azhar, Mesir) yang telah dikembangkan pada masa PTAIN. Pada periode ini, IAIN Sunan Kalijaga berada di bawah kepemimpinan Prof. RHA Soenarjo, SH (1960-1972). 1972-1996 Periode Peletakan Landasan Akademik Pada periode ini, IAIN Sunan Kalijaga dipimpin secara berturut-turut oleh Kolonel Drs. H. Bakri Syahid (1972-1976), Prof. H. Zaini Dahlan, MA (selama 2 masa jabatan: 1976-1980 dan 1980-1983), Prof. Dr. HA Mu'in Umar (1983-1992) dan Prof. Dr. Simuh (1992-1996). Pada periodeini, pembangunan sarana prasarana fisik kampus meliputi pembangunan gedung Fakultas Dakwah, Perpustakaan, Program Pascasarjana, dan Rektorat dilanjutkan. Sistem pendidikan yang digunakan pada periode ini mulai bergeser dari 'sistem liberal' ke 'sistem terpimpin' dengan mengintrodusir 'sistem semester semu' dan akhirnya 'sistem kredit semester murni'. Dari segi kurikulum, IAIN Sunan Kalijaga telah mengalami penyesuaian yang radikal dengan kebutuhan nasional bangsa Indonesia. Jumlah fakultas bertambah menjadi 5 (lima); yaitu Fakultas Adab, Dakwah, Syari'ah, Tarbiyah dan Ushuluddin. Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga dibuka pada periode ini, tepatnya pada tahun akademik 1983/1984. Program Pascasarjana ini telah diawali dengan kegiatan-kegiatan akademik dalam bentuk short courses on Islamic studies dengan nama Post Graduate Course (PGC) dan Studi Purna Sarjana (PPS) yang diselenggarakan tanpa pemberian gelar setingkat Master. Untuk itu, pembukaan Program pAscasarjana pada dasawarsa delapan puluhan tersebut telah mengukuhkan fungsi IAIN Sunan Kalijaga sebagai lembaga akademik tingkat tinggi setingkat di atas Program Strata Satu. 1996-2001 Periode Pemantapan Akademik dan Manajemen Pada periode ini, IAIN Sunan Kalijaga berada di bawah kepemimpinan Prof. Dr. HM. Atho Mudzhar (1997-2001). Pada periode ini, upaya peningkatan mutu akademik, khususnya mutu dosen (tenaga edukatif) dan mutu alumni, terus dilanjutkan. Para dosen dalam jumlah yang besar didorong dan diberikan kesempatan untuk melanjutkan studi, baik untuk tingkat Magister (S2) maupun Doktor (S3) dalam berbagai disiplin ilmu, baik di dalam maupun di luar negeri. Demikian pula peningkatan sumber daya manusia bagi tenaga administratif dilakukan untuk meningkatkan kualitas manajemen dan pelayanan administrasi akademik. Pada periode ini, IAIN Sunan Kalijaga semakin berkonsentrasi untuk meningkatkan orientasi akademiknya dan mengokohkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan tinggi. Jumlah tenaga dosen yang bergelar Doktor dan Guru Besar meningkat disertai dengan peningkatan dalam jumlah koleksi perpustakaan dan sistem layanannya. 2001-2010 Periode Pengembangan Kelembagaan Periode ini dapat disebut sebagai 'Periode Trasformasi', karena, pada periode ini telah terjadi peristiwa penting dalam perkembangan kelembagaan pendidikan tinggi Islam tertua di tanah air, yaitu Transformasi Institut Agama ISlam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 2004 Tanggal 21 Juni 2004. Deklarasi UIN Sunan Kalijaga dilaksanakan pada tanggal 14 Oktober 2004. Periode ini di bawah kepemimpinan Prof. Dr. HM. Amin Abdullah (2001-2005) dengan Pembantu Rektor Bidang Akademik Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, MA., Ph.D, Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum Drs. H. Masyhudi, BBA, M.Si. dan Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Prof. Dr. H. Ismail Lubis, MA (Almarhum) yang kemudian digantikan oleh Dr. Maragustam Siregar, MA. Pada periode kedua (2006-2010) dari kepemimpinan Prof. Dr. HM. Amin Abdullah telah dibentuk Pembantu Rektor Bidang Kerja Sama. Dengan ditetapkannya keberadaan Pembantu Rektor Bidang Kerja Sama, maka kepemimpinan UIN Sunan Kalijaga pada periode kedua ini adalah sebagai berikut : PEmbantu Rektor Bidang Akademik, Dr. H. Sukamta, MA, Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum, Dr. H. Tasman Hamami, MA, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, Dr. Maragustam Siregar, MA, dan Pembantu Rektor Bidang Kerja Sama dijabat oleh Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, MA. Perubahan Institut menjadi universitas dilakukan untuk mencanangkan sebuah paradigma baru dalam melihat dan melakukan studi terhadap ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, yaitu paradigma Integrasi interkoneksi. Paradigma ini mensyaratkan adanya upaya untuk mendialogkan secara terbuka dan intensif antara hadlarah an-nas, hadlarah al-ilm, dan hadlarah al-falsafah. Dengan paradigma ini, UIN Sunan Kalijaga semakin menegaskan kepeduliannya terhadap perkembangan masyarakat muslim khususnya dan masyarakat umum pada umumnya. Pemaduan dan pengaitan kedua bidang studi yang sebelumnya dipandang secara dimatral berbeda memungkinkan lahirnya pemahaman Islam yang ramah, demokratis, dan menjadi rahmatan lil 'alamin. 2010-2014 Periode Kebersamaan dan Kesejahteraan Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor : B.II/3/16522/2010 Tanggal 6 Desember 2010, Guru Besar Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam diberi tugas tambahan sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta masa jabatan 2010-2014. Periode di bawah kepemimpinan Prof. Dr. H. Musa Asy’arie dibantu oleh empat Pembantu Rektor yaitu: Pembantu Rektor Bidang Akademik Dr. Sekar Ayu Aryani, M.Ag., Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum Prof. Dr. H. Nizar, M.Ag,. Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Dr. H. Ahmad Rifai,. M.Phil., dan Pembantu Rektor Bidang Kerjasama, Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, M.A. Seiring dengan perkembangan jaman dan dalam rangka meningkatkan mutu penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan tinggi, dinilai organisasi tata kerja Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta perlu ditata kembali. Oleh karena itu, Organisasi Tata Kerja Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga mengalami perubahan berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 2013. Sesuai dengan Organisasi Tata Kerja Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yang baru, dalam melaksanakan tugasnya, Rektor dibantu oleh tiga Wakil Rektor yaitu: Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Dr. Sekar Ayu Aryani, M.Ag., Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan, Prof. Dr. H. Nizar, M.Ag.,dan wakil Rektor Bidang Kelembagaan dan Kerja sama Dr. H. Maksudin, MA. Sumber : http://uin-suka.ac.id/page/universitas/1-sejarah

31 Desember 2013




Bundaku sosok pahlawan abadi

oleh: Trimo Agung Sukron 31:12:2013 jam 10:43 di asrama United Islamic Cultural Centre of Indonesia

terlahir dalam relungmu
ku selalu dekat denganmu
kaulah penghapus tangisku
engkau relakan semua demi aku
hujan lebat, angin kencang menyelimuti hari-harimu
kau tak pernah putus asa demi masa depanku
injakan kakimu menyelusuri dunia tulus karenaku
senyum indah, rasa riang terpasang di wajahmu setiap saat
tertutupi semua keinginanku meski berat diperjuangkan
aku butuh sosok dirimu sepanjang massa
sosok pahlawan tanpa tanda jasa


26 April 2013

     
                          Foto : www.unisdr.org
      BAB I
                                                                    PENDAHULUAN
             A.    Latar Belakang
Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185).    Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.   Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.

             B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan masyarakat madani?
2.      Bagaimana sejarah pemikiran tentang masyarakat madani?
3.      Apa syarat terbentuknya masyrakat madani?
4.      Seperti apa karakteristik masyarakat madani?
5.      Apa saja yang menjadi pilar penegak terciptanya masyarakat madani?
6.      Bagaimana masyarakat Indonesia bisa menjadi masyarakat yang madani?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan  makalah ini adalah untuk menjelaskan tentang masyarakat madani mulai dengan definisi, sejarah, karakteristik,dan  syarat-syarat terbentuknya, hingga nilai – nilai masyarakat madani dapat terealisasi dalam kehidupan nyata.
D. Manfaat
Manfaat di buatnya makalah ini adalah untuk mengetahui apa makna dari masyarakat madani itu sendiri dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Selain itu, supaya pembaca lebih luas wawasannya dalam suatu ilmu, khususnya mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Masyarakat Madani ( Civil Society )
Sekitar pertengahan abad XVIII dalam tradisi Eropa pengertian dari istilah civil society di anggap sama pengertiannya dengan istilah negara (state) yakni suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Akan tetapi pada paruh abad XVIII, terminologi ini mengalami pergeseran makna. State dan civil society dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial (social information) dan perubahan-perubahan struktur politik dan Eropa sebagai pencerahan (enlightenment) dan modernisasi dalam mengahadapi persoalan duniawi. Pendapat ini diungkapkan oleh AS Hikam tahun 1999.[1]
      Selanjutnya, istilah masyarakat madani di Indonesia diperkenalkan oleh Dr. Anwar Ibrahim, ketika menyampaikan ceramah dalam acara Festival istiqlal II tahun 1995 di Jakarta, sebagai terjemahan dari civil society dalam bahasa Inggris, atau al-Mujtama’al-madani dalam bahasa Arab, adalah masyarakat yang bermoral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dan stabilitas masyarakat, dimana masyarakat memiliki daya dorong usaha dan inisiatif individual (Prasetyo, et al. 2002: 157).[2] Adapun yang memaknai civil society identik dengan “masyarakat berbudaya”(civilized society). Lawannya, adalah “ masyarakat liar”(savage society).[3]
Akan tetapi secara global bahwa yang di maksud dengan masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara memiliki ruang publik ( publik sphere ) dalam mengemukakan pendapat adanya lembaga-lembaga mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.[4]
      Untuk menciptakan civil society yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi diperlukan strategi penguatan kearah pembentukan Negara secara gradual dengan suatu masyarakat politik yang demokratif-partisipatif, reflektif, dan dewasa yang mampu menjadi penyeimbang dan control atas kecenderungan aksesif Negara.[5]
      Yang perlu kita garis bawahi dalam pengertian masyarakat madani ini adalah bahwa masyarakat tersebut mempunyai cita-cita agar rakyatnya aman, nyaman dan sejahtera, serta system yang di gunakan cukup baik karena setiap orang tidak harus menggantungkan dirinya kepada orang lain.
B.     Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani (Civil Society).
Untuk memahami masyarakat madani terlebih dahulu harus di bangun paradigma bahwa konsep masyarakat madani ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan sudah jadi, akan tetapi merupakan sebuah wacana yang harus dipahami sebagai sebuah proses. Oleh karena itu, untuk memahaminya haruslah di analisis secara historic.[6]Menurut Manfred, Cohen dan Arato serta M. Dawam Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah mengemuka pada masa Aristoteles. Disini ada beberapa fase tentang sejarah pemikiran masyarakat madani.
 Fase pertama,(Aristoteles, 384-322 SM) masyarakat madani di pahami sebagai system kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai pencaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike yang di kemukakan oleh Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni seperangkat nilai yang di sepakati tidak hanya dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai subtansi dasar kebijakan (viertue) dari berbagai bentuk interaksi di antara warga negara.
      Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-143 SM) dengan istilah societies civilizes, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Tema yang di kedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep Negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan , kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi masyarakat madani yang aksentuasinya pada system kenegaraan ini dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan John Locke (1632-1704).[7] Pada masa itu civil society dipahami sebagai suatu wilayah yang mencakup masyarakat politik (politica society) dan masyarkat ekonomi (economic society).[8]
Fase kedua. Pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society dengan konteks sosial dan politik di skotlandia. Berbeda pendapat dengan pendahulunya, Ferguson lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial.[9] Pendapat ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi indutri munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Dengan konsepnya ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali depotisme, karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warga negara secara alamiah.[10]
Fase ketiga. Pada tahun 1792 Thomas Paine memaknai wacana civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai antitesis negara. Bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah saatnya dibatasi. Menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka. Menurutnya, civil society adalah ruang dimana warga negara dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan. Sejalan dengan pandangan ini, civil society harus lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi keberlangsungan kebutuhan anggotanya.[11]
Fase keempat. Wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G. W. F. Hegel (1770-1831 M), Karl Max (1818-1883 M), dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Pandangan mereka, civil society merupakan elemen ideologi kelas dominan. Pemahaman ini adalah reaksi atas pandangan Paine yang memisahkan civil society dari negara. Berbeda dengan pandangan Paine, Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara. Pandangan ini, menurut pakar politik Indonesia Ryaas Rasyid, erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat borjuasi eropa yang pertumbuhannya ditandai oleh perjuangan melepaskan diri dari cengkeraman dominasi negara.
Lebih lanjut Hegel menjelaskan bahwa dalam struktur sosial civil society terdapat tiga (3) entitas sosial: keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan. Selanjutnya,  masyarakat sipil merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Dan terakhir, negara merupakan representasi dari ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan mempunyai hak penuh untuk melakukan intervensi terhadap civil society.
Berbeda dengan Hegel, Karl Max memandang bahwa civil society dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil society merupakan kendala terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan kelas pemilik modal. Demi terciptanya proses pembebasan manusia, civil society harus dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas.
Antonio Gramsci berbeda pendapat dengan Marx, yaitu ia lebih memandang pada sisi ideologis. Menurut Gramsci, civil society merupakan tempat berebutan posisi hegemoni di luar kekuatan Negara, aparat mengembangkan hegemoni untuk membentuk consensus dalam masyarakat.
Fase kelima. Wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859). Bersumber dari penglamannya mengamati budaya demokrasi Amerika, Tocqueville memandang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. Menurut Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat. Mengaca pada kekhasan budaya demokrasi rakyat Amerika yang bercirikan plural, mandiri, dan kedewasaan berpolitik, menurutnya warga negara di mana pun akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.[12]
Beberapa fase sudah di sebutkan, bahwa setiap fase mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam mengartikan masyarakat madani tersebut. Mulai dari ,(Aristoteles, 384-322 SM) yang memaknai masyarakat madani sebagai system kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai pencaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Dan pada akhirnya pada fase ke lima yang menganggap masyarakat madani sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. Namun fase-fase tersebut pada intinya hampir sama dalam menafsirkan masyarakat madanai yaitu masyarakat yang mandiri yang memiliki hak untuk memaparkan pendapat-pendapatnya di muka umum untuk memenuhi kesejahteraan daerahnya.
C.    Syarat Terbentuknya Masyarakat Madani.
Banyak pendapat tentang pembahasan syarat-syarat terbentuknya masyarakat madani. Elemen dasar terbentuknya masyarakat madani menurut Rasyid dalam Barnadib (2003:63) adalah (1) masyarakat yang memiliki moral dan peradaban yang unggul, menghargai persamaan dan perbedaan (plural), keadilan, musyawarah, demokrasi; (2) masyarakat yang tidak bergantung pada pemerintah pada sector ekonomi;(3) tumbuhnya intelektualis yang memiliki komitmen independent; dan (4) bergesernya budaya paternalistic menjadi budaya yang lebih modern dan lebih independent.
Barnadib (2003:67-68) juga mengemukakan adanya empat syarat terbentuknya masyarakat madani, yakni: (1) pemahaman yang sama (one standart), artinya diperlukan pemahaman bersama di kalangan masyarakat tentang apa dan bagaimana masyarakat madani;(2) keyakinan (confidence) dan saling percaya (social trust), artinya perlu ditumbuhkan dan dikondisikan keyakinan di masyarakat, bahwa madani adalah merupakan masyarakat yang ideal;(3)  satu hati dan saling tergantung, artinya kondisi kesepakatan, satu hati dan kebersamaan dalam menentukan arah kehidupan yang dicita-citakan dan (4) kesamaan pandangan tentang tujuan dan misi.[13]
            Syarat-syarat di atas sangatlah berperan penting dalam kaitannya pembentukan masyarakat madani. Karenanya semua syarat tersebut harus ada ketika suatu kelompok menginginkan masyaraktnya dikatakan masyarakat yang madani.
D.    Karakteristik Masyarakat Madani
Penyebutan karakteristik civil society dimaksudkan untuk menjelaskan, bahwa dalam merealisir wacana civil society diperlukan prasyarat yang bersifat universal. Prasyarat ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, melainkan satu kesatuan integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi civil society. Karakteristik tersebut antara lain adalah free public sphere, demokrasi, toleransi, pluralism, keadilan,sosial (social justice) dan berkeadaban.[14]
1.      Free Public Sphere (wilayah publik yang bebas).
Yang di maksud dengan istilah “ free public sphere” adalah adanya ruang public yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang public yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Aksentuasi prasyarat ini dikemukakakan oleh Arendt dan Habermas.[15] Warga Negara dalam wacana free public sphere memiliki hak penuh dalam setiap kegiatan politik. Warga Negara berhak melakukan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta menerbitkan dan mempublikasikan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
                        Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan civil society dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free public sphere menjadi salah bagian yang harus di perhatikan. Karena dengan mengesampingkan ruang public yang bebas dalam tatana civil society, akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya.[16]
2.      Demokrasi.
Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society yang murni (genuine). Tanpa demokrasi, masyarakat sipil tidak mungkin terwujud. Secara umum demokrasi adalah suatu tatanan social politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga negara.[17]Penekanan demokrasi (demokratis) disini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, social, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.[18]
3.      Toleransi.
Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat. Lebih dari sikap menghargai pandangan berbeda orang lain, toleransi, mengacu kepada pandangan Nurcholish Majid, adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari pelaksanaan ajaran yang benar. Senada dengan Majdid, Azra menyatakan untuk menciptakan kehidupan yang bermoral, masyararakat madani menghajatkan sikap-sikap toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima beragam perbedaan pandangan politik di kalangan warga bangsa.
4.      Pluralisme.
Kemajemukan atau pluralism merupakan prasyarat lain bagi civil society. Namun, prasyarat ini harus benar-benar di tanggapi dengan tulus ikhlas dari kenyataan yang ada, karena mungkin dengan adanya perbedaan wawasan akan semakin bertambah. Kemajemukan dalam pandangan Majdid erat kaitannya dengan sikap penuh pengertian (toleran) kepada orang lain, yang nyata-nyata diperlukan dalam masyarakat yang majemuk. Secara teologis, tegas Majdid, kemajemukan social merupakan dekrit Allah untuk umat manusia.[19]
5.      Keadilan Sosial.
Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara dalam semua aspek kehidupan.
 Dengan terciptanya keadilan sosial, akan tercipta masyarakat yang sejahtera seperti nilai yang terkandung dalam pengertian masyarakat madani. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang di tetapkan oleh pemerintah (penguasa).
Sangatlah bagus beberapa karakteristik masyarakat madni di atas, mulai dari free public spere, demokrasi, toleransi, plurasime, dan keadilan social. Bahwa masyarakat tersebut selain bebas mengemukakan pendapat juga mempunyai rasa toleran terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Selain itu juga, mempunyai jiwa keadilan terhadap orang-orang di sekitar, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
E.     Pilar Penegak Masyarakat Madani.
Yang di maksud disini adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Ada lima pilar penegak masyarakat madani:[20]
1.      Lembaga Swadaya Masyarakat, tugas dari institusi social ini adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas. Selain itu LSM juga mengadakan pelatihan-pelatihan dan sosialisasi program-program pembangunan masyarakat.
2.      Pers, institusi ini sangat penting dalam kaitannya penegakan masyarakat madani karena dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga negara.
3.      Supermasi Hukum, dalam hal ini semua warga negara harus taat terhadap peraturan hukum yang sudah ditetapkan. Hal tersebut untuk mewujudkan masyarakat yang damai dalam memperjuangkan hak dan kebebasan antar warga negara.
4.      Perguruan Tinggi, yang mana dosen dan mahasiswa merupakan bagian dari kekuatan social dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan dalam mengkritisinya tersebut tidak melanggar peraturan hokum yang ada. Disisi lain perguruan tinggi juga bisa mencari solusi-solusi dari permaslahan yang ada di masyarakat
5.      Partai Politik, partai politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk dapat menyalurkan asipirasi politiknya dan tempat ekspresi politik warga Negara, maka partai politik ini menjadi persyaratan bagi tegaknya masyarakat madani.
Dari point satu sampai lima sungguh sangatlah berperan penting dalam menegakkan masyarakat madani itu sendiri, karena ketika masyarakat merasa tidak puas atas kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh  pemerintah, pilar-pilar penegak tersebut bisa di gunakan untuk mewakili masyarakat madani yang dapat menyuarakan semua ansipari-anspirasi dari masyarakat yang menjadi uneg-uneg atas ketidakpuasannya terhadap pemerintah.
F.     Masyarakat Madani Indonesia.
Gerakan untuk membentuk masyarakat madani berkaitan dengan proses demokratisasi yang sedang melanda dunia dewasa ini. Sudah tentu perwujudan kehidupan yang demokratis untuk setiap bangsa mempunyai ciri-ciri tertentu di samping ciri-ciri universal. Salah satu cirri dari bermasyarakat Indonesia ialah kebhinekaan dari bangsa Indonesia.
Masyarakat dan budaya Indonesia yang bhinneka.
Menurut pendapat Lombard, Indonesia berada dalam persimpangan pengaruh budaya internasional. Oleh sebab itu, di Indonesia bukanlah hanya terdapat berbagai suku, akan tetapi budaya pun bermacam-macam akibat Negara-negara lain yang pernah masuk ke Indonesia selama berabad-abad. Dengan adanya masyarakat Indonesia yang demokratis justru akan memperoleh dasar perkembangan yang sangat relevan dengan adanya kebhinekaan masyarakat Indonesia. Kehidupan demokrasi sebagai ciri utama masyarakat madani akan mendapat persemaian yang yang sempurna dalam corak kebhinekaan masyarakat dan budaya Indonesia.
Beberapa ciri pokok masyarakat madani Indonesia.
Sebenarnya ide masyarakat madani sudah dikembangkan mulai zaman Yunani klasik seperti ahli piker Cicero. Di dalam kaitan ini Hikam misalnya mengambil pemikiran Alexis Tocqueville mengenai ciri-ciri masyarakat madani. Dengan pendekatan elektrik, Hikam merumuskan empat ciri utama dari masyarakat madani yaitu:
1.      Kesukarelaan. Artinya masyarakat madani bukanlah merupakan suatu masyarakat paksaan atau karena indoktrinasi. Kenggotaan masyarakat madani adalah kenggotan pribadi yang bebas, dan mempunyai cita-cita yang di wujudkan bersama.
2.      Keswasembadaan. Setiap orang mempunyai harga diri yang tinggi, tidaklah setiap anggota masyarakat madani selalu menggantungkan kehidupannya kepada orang lain. Namun, justru membantu orang lain yang sekiranya membutuhkan pertolongan.
3.      Kemandirian tinggi terhadap Negara. Bagi mereka (anggota masyarakat madani) Negara adalah kesepakatan bersama sehingga tanggung jawab yang lahir dari kesepakatan tersebut adalah juga tuntutan dan tanggung jawab dari masing-masing anggota. Inilah Negara yang berkedaulatan rakyat.
4.      Keterkaitan pada nilai-nilai hokum yang disepakati bersama. Hal ini berarti suatu masyarakat madani adalah  suatu masyarakat yang berdasarkan hokum dan bukan Negara kekuasaan.
Di atas merupakan ciri-ciri masyarakat madani yang di ungkapkan oleh Hikam dengan pendekatan eklektik. Dan beliau melampiaskan ciri-ciri tersebut ke Negara Indonesia.[21]
Selain itu, cirri-ciri di atas juga bisa menjadi gambaran seperti apakah sebenarnya masyarakat madani itu. Dan agar orang-orang tidak salah persepsi dalam memandang masyarakat madani itu sendiri.
G.    Civil Society sebagai Indikator Keberhasilan Pembangunan.
Di indonesia pada hakikatnya proses pembangunan masih sarat oleh prakarsa pemerintah dan aparatnya baik dari segi perencanaan maupun pelaksanannya, walaupun pemerintah indonesia secara formal mengatakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan unsur yang paling penting dalam menciptakan keberhasilan pembangunan Indonesia.
Sebagai pembuktiannya, pmerintah mendirikan organisasi - organisasi seperti LKMD, PKK, HKTI di tingkat kecamatan dan  partai politik di tingkat nasional.
Hambatan- hambatan organisasi tersebut untuk mendukung terciptanya masyarakat madani yaitu :
a)      Organisasi tersebut bukan organisasi yang bersifat otonom. Program, dana dan pengurus terdiri dari pejabat atau mantan pejabat pemerintahan. Masyarakat memandangnya baik-aik saja, akan tetapi oknum-oknum tertentu ada yang bisa menghambat jalannya suatu proses pembangunan.
b)      Lemahnya partai politik dan pers indonesia.
c)      Akibat absennya civil society dalam proses pembangunan indonesia walaupun hampir meninggalkan era pembangunan 25 tahun tahap pertama pembagunan indonesia belum mampu menciptakan kehidupan soisal budaya politik modern bagi bangsa indonesia yang mampu menjadi dasar bagi pembangunan manusi indonesia sutuhnya.[22]
     Sehubungan dengan adanya hambatan – hambatan tersebut, mengakibatkan tatanan masyarakat yang madani secara utuh belum bias tercapai di Indonesia. Selain itu, masih ada factor lain diantaranya korupsi yang kian merakyat dan membudaya, kolusi yang menelurkan pejabat – pejabat yang kurang bertanggung jawab serta nepotisme yang menjadikan persaingan kehidupan yang tidak sehat dan penuh kecurangan. Jauh dari tolok ukur sebagai masyarakat yang madani.

BAB III
PENUTUP
      A.    Kesimpulan
            Dapat kita pahami bahwa makna dari civil society itu adalah suatu  masyarakat yang begitu partisipasi atas system demokrasi dan menjunjung tinggi hak asasi orang lain. Hal tersebut sesuatu yang baik, yang apabila suatu parlemen (pemerintahan) belum bisa, bahkan tidak bias menegakan system demokrasi dan  hak asai manusia.. Di sinilah kemudian civil society menjadi alternatif pemecahan dengan pemberdayaan dan pnguatan daya kontrol masyarakat terhadap kebijakan – kebijakan pemerintah yang pada akhirnya terwujud kekuatan masyarakat sipil yang mampu merealisasikan konsep hidup yang demokrasi dan menghargai hak asaai manusia.      Terjaminnya mutu perekonomian, lengkapnya fasilitas dunia pendidikan, terbukanya masyarakat dalam memberikan suatu kritikan terhadap pemerintah dan bertaqwa kepada Sang  Kholiq, merupakan faktor – faktor yang dapat membangun masyarakat madani di Indonesia.





DAFTAR PUSTAKA

M.Hum, Mahrus, dkk, Pancasila dan  Kewarganegaraan, Yogyakarta: Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Rosyada, Dede, dkk, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media,2003
Soetrisno, Loekman, Menuju Masyarakat Partisipatif, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Suryadi Culla, Adi, Masyarakat Madani: pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999.
Tim Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah,Bandung: ALFABETA, 2009.
Tilaar, H. A. R. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2002.  
Ubaedillah, dkk, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media,2008.